Industri digital di Indonesia mulai menggeliat. Beberapa waktu belakangan sejumlah perusahaan dan aplikasi-aplikasi buatan lokal mulai bermunculan seiring dengan semakin luasnya jangkauan internet di Nusantara.
Menurut laporan Deloitte pada Desember 2011, "The Connected Archipelago, The Role of the Internet in Indonesia's Economic Development" disebutkan bahwa penetrasi internet di Indonesia pada 2010 meningkat mencapai 9,1 persen dari populasi dan terus meningkat dua kali lipat sejak 2008.
Perkembangan internet inilah yang menjadi salah satu pendorong perkembangan bisnis digital di Indonesia. Yang juga menyebabkan semakin banyak orang di Indonesia menggunakan Facebook atau Twitter dan semakin banyaknya populasi smartphone di Tanah Air.
Perkembangan-perkembangan inilah yang menjadikan Indonesia pasar yang potensial bagi lahirnya startup-startup dan industri berbasis digital lainnya. Belum lagi daya beli masyarakat yang meningkat seiring meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat di negeri ini.
"Pasar terbuka dan peluang yang terbuka ini mendorong lahirnya para pengusaha baru," kata Djarot Subiantoro, Ketua Umum Asosiasi Piranti Lunak Indonesia ketika dihubungi Beritasatu.com pekan lalu.
Menurut DailySocial.Net, media yang hirau pada perkembangan startup lokal, jumlah startup di Indonesia semakin hari semakin bertambah dan kini setidaknya terdapat lebih dari 1500 startup lokal yang lahir ada di Tanah Air.
"Tapi sebagian dari mereka ada yang mati," kata Rama Mamuaya, founder dan CEO DailySocial.Net.
Djarot dan Rama sama-sama melihat sebagian besar startup di Indonesia bisa digolongkan dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah startup yang menciptakan game, kedua adalah yang bergerak aplikasi edukasi, dan ketiga perdagangan, seperti e-commerce.
"Game dan aplikasi edukasi punya pasar yang potensial dan terbuka di Indonesia," terang Rama.
Menurutnya faktor pertama yang membuat game dan aplikasi edukasi berpotensi karena relatif mudah diciptakan. Kedua aplikasi edukasi memanfaatkan internet, alat yang sering disebut sebagai alternatif bagi pendidikan yang belum merata di Indonesia.
"Dengan perkembangan media sosial dan smartphone pasar untuk mobile game dan social game semakin besar," Rama menjelaskan faktor yang ketiga.
Sementara untuk aplikasi atau website yang bergerak di bidang e-commerce, Rama menilai tantangan di Indonesia masih terlalu besar. Salah satunya datang dari minimnya penggunaan kartu kredit.
"Pengguna kartu kredit di Indonesia belum banyak sementara pembayaran di e-commerce lazimnya dilakukan menggunakan kartu kredit," imbuh Rama.
TANTANGAN INVESTASI
Selain itu, Rama menilai salah satu yang menjadi tantangan terberat bagi startup di Indonesia adalah investasi. Banyak bakat-bakat hebat di Tanah Air yang akhirnya terganjal karena tidak punya cukup modal untuk menjalankan perusahaannya.
"Investor lokal masih berpola pikir tradisional. Mereka belum berani berinvestasi ke bisnis online," keluh Rama, "Sementara di sisi lain investor luar sangat tertarik untuk manaruh uangnya di startup lokal, tetapi mereka terkendala regulasi penanaman modal di sini yang berbelit-belit."
Keluhan Rama itu pun diamini oleh Lolly Amalia Abdullah, Direktur Kerjasama dan Fasilitas Direktorat Jenderal Ekonomi kreatif Berbasis Media Desain dan Iptek Kementerian Pariwisita dan Ekonomi Kreatif Indonesia.
Lolly yang ditemui dalam pengumuman pemenang iMULAI 4.0, kompetisi startup lokal yang digelar Microsoft mengatakan perbankan di Indonesia belum menyadari pentingnya perkembangan industri digital, khususnya startup di negeri ini.
"Mungkin karena di Indonesia kreasi digital masih lebih mirip kerajinan ketimbang industri seperti di luar negeri," ujar Lolly. Meski demikian Lolly berjanji akan mengusahakan sebuah skema atau format, yang menempatkan pemerintah sebagai penjamin bagi startup yang ingin mengajukan pinjaman atau modal ke bank.
"Tetapi sampai sekarang belum bisa kita rumuskan bentuknya seperti apa," kata Lolly yang dalam acara itu datang mewakili Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Tetapi pandangan itu tidak sepenuhnya disepakati oleh Djarot. Menurut pantauannya, sudah banyak pengusaha lokal yang melirik bahkan berinvestasi di startup lokal. Ia mencontohkan sebuah perusahaan rokok yang berinvestasi ke Kaskus.
"Modal-modal ventura dari luar negeri juga sudah banyak yang masuk ke Indonesia," ujar Djarot yang juga menambahkan untuk jangan terlalu berharap pada perbankan yang memang masih berpola pikir tradisional.
PEMERINTAH SEBAIKNYA DIAM
Lebih jauh Djarot juga mengatakan peran pemerintah dalam perkembangan startup di Indonesia jangan terlalu diharapkan. Penilaian Djarot pun diamini oleh Rama dan sejumlah startup.
"Pemerintah tidak perlu diharapkan untuk perkembangan startup di Indonesia, asal pemerintah jangan mengganggu saja," tegas Djarot.
Rama juga berpandangan searah dengan Djarot. Ia menghimbau para startup untuk jangan menunggu pemerintah baru mulai berkreasi. "Asal jangan ganggu kita saja, lebih baik diam," ujar Rama singkat. Keduanya sepakat bahwa peran pemerintah saat ini belum diperlukan untuk mendorong perkembangan startup di Indonesia, kecuali hanya untuk menciptakan iklim yang kondusif.
"Jangan terlalu banyak menghabiskan energi untuk mengeluh pada pemerintah," kata Andrew Budianto dan Andhika Estrada dari Agate Studio, startup dari Bandung yang terkenal sebagai pembuat game terkemuka di Indonesia.
Kedua anak muda itu malah menganjurkan agar energi yang ada digunakan untuk terus berkreasi menghasilkan aplikasi-aplikasi atau karya baru.Industri startup sendiri diharapkan berkembang terus, seiring berkembangnya industri berbasis internet lainnya di Tanah Air. Industri berbasis internet pada 2011 telah menyumbang 1,6 persen dari GDP Indonesia.
Diharapkan pada 2016 sumbangsih industri berbasis internet pada GDP Indonesia mencapai 2,5 persen, atau naik tiga kali lipat dalam lima tahun berikutnya.
EmoticonEmoticon