Kontroversi Uber dan Startup Transportasi di Indonesia

Aplikasi transportasi asal Amerika Serikat, Uber, kembali menuai kontroversi di Indonesia. Seperti yang dilansir dari Detik, baru-baru ini tim gabungan Organda (Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor Di Jalan) dan Dinas Perhubungan DKI menangkap lima pengemudi partner Uber. Penangkapan ini berhasil dilakukan setelah tim gabungan menyamar sebagai penumpang biasa yang meminta tujuan ke Polda Metro.
“Kita juga koordinasi dengan Dishub. Hari ini [19 Juni] Organda, Dishub dan polisi bekerjasama seperti yang disampaikan tanggal 8 Juni lalu bahwa kami akan sweeping taksi Uber ini. Dan hari ini kita bawa 5 unit taksi Uber ini yang. Memang sudah kita pesan dan kita pancing,” ungkap kepala Organda Shafrun Sinungan.
Uber Ditangkap
Sumber gambar: Metronews
Laporan terakhir yang beredar adalah mobil yang ditangkap berjenis Innova dan Avanza. Serta lima pengemudi partner Uber sedang diperiksa penyidik Ditkrimsus Cyber Crime Polda Metro Jaya. Selain itu, rumornya operasi terpadu Uber di Jakarta akan terus dilakukan.

Mengapa penangkapan ini bisa terjadi?

Sekitar dua minggu sebelum penangkapan tersebut terjadi. Pada tanggal 9 Juni 2015, LSM Indonesia Club melaporkan Uber ke Bareskrim Polri dengan tudingan tidak memiliki izin frekuensi. Uber juga dinilai melanggar UU Lalu Lintas dan UU Informasi dan Teknologi Elektronik.
“Kami meminta kepolisian menindak kejahatan cyber, maraknya aplikasi mobile. Maraknya aplikasi penyediaan layanan taksi. Bisnis aplikasi tidak ada izin frekuensi,” ungkap Direktur Indonesia Club, Gigih Guntoro di Bareskrim Polri. Hal ini tentunya tidak masuk akal karena aplikasi Uber menggunakan jaringan internet yang bisa diakses melalui jaringan data maupun Wi-Fi.
Selain itu, Gigih juga mengatakan bahwa kerugian negara untuk satu aplikasi mencapai Rp12 triliun per tahun. Uber sendiri resmi meluncur di indonesia pada bulan Juni tahun lalu, dan baru melakukan ekspansi ke Bandung dan Bali tahun ini. Sedangkan Uber hanya mengambil potongan sebesar 20 persen dari total transaksi yang diberikan penumpang ke partner Uber. Angka Rp12 triliun tentunya sangat fantastis untuk startup yang baru berjalan satu tahun di Indonesia.
Kemudian laporan berikutnya datang dari Organda. Bersama Dishub, Organda berdiskusi tentang keberadaan Uber di tanah air. Hasil diskusi itu berlanjut dengan laporan secara resmi ke bagian Ditkrimsus Cyber Crime Polda Metro Jaya pada tanggal 28 Februari 2015.
Organda sendiri merupakan organisasi yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. Untuk wilayah DKI Jakarta, Organda dipimpin oleh Shafruhan Sinungan. Selain memimpin Organda, beliau juga merupakan Direktur dari perusahaan taksi Express yang terdaftar dalam badan hukum dengan nama PT. Express Transindo Utama.
Menurut Shafruhan, keberadaan Uber telah meresahkan pengusaha taksi lain karena adanya perbedaan tarif, dimana untuk wilayah Jakarta, Uber mengenakan biaya Rp2.100 per kilometer untuk Uber X dan Rp2.850 untuk Uber Back. Tarif tersebut jauh lebih murah daripada tarif taksi biasa seperti Bluebird yang mengenakan tarif Rp4.000 per kilometer. Selain itu Shafrun juga menilai bahwa Uber melanggar aturan pemerintah seperti UU Transportasi dan UU Perseroan.

Lalu bagaimana tanggapan Uber?
Menepis masalah itu, Direktur Komunikasi Uber Kawasan Asia Selatan dan India, Karun Arya mengatakan bahwa Uber telah membayar pajak dan membuat kantor yang memperkerjakan karyawan dari Indonesia.
“Soal pajak, kami membayar seluruh pajak di semua tempat kami beroperasi. Kami juga memastikan bahwa pengemudi mendapatkan 80 persen dari setiap transaksi,” ungkap Karun.
Hasil percakapan CNN Indonesia dengan Karun juga menimbulkan sebuah spekulasi di balik penolakan Uber. “Kamu tahu siapa ketua Organda itu, ia adalah salah satu direktur Express (perusahaan taksi). Ini menarik, apakah ada motif yang berbeda?” ungkap Karun yang dihubungi melalui sambungan telepon oleh pihak CNN Indonesia.
Dari awal masuk, Uber telah menerima sejumlah kecaman di Indonesia. Pada bulan Agustus, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok menilai bahwa Uber tidak mau mengurus izin operasional agar tidak membayar pajak. Akan tetapi apabila disadari, perusahaan-perusahaan teknologi lain yang berasal dari luar negeri juga melakukan hal yang sama saat pertama kali masuk ke Indonesia. Sebut saja Twitter dan Path yang telah memiliki jutaan pengguna dan menghasilkan banyak revenue, awalnya beroperasi tanpa memiliki kantor dan tidak membayar pajak di Indonesia. Hingga akhirnya setelah dirasa tanah air benar-benar berpotensi, barulah mereka memutuskan mendirikan kantor cabang.
Menanggapi masalah tersebut, Uber sebenarnya telah sempat memberi penjelasan dalam blog resmi mereka. Berikut adalah sejumlah point dari spekulasi dan fakta tentang Uber:

Kemudian dalam menanggapi kejadian penangkapan tersebut, Uber juga telah memberikan pernyataan mereka melalui blog resminya. Dalam blog tersebut Uber menekankan bahwa mereka melakukan investigasi dan membantu kelima partner yang telah ditangkap di Polda Metro tersebut hingga masalah selesai.
Uber juga menyampaikan bahwa pihaknya adalah perusahaan teknologi yang tidak memiliki, mengoperasikan kendaraan, dan memperkerjakan pengemudi. Perusahaan ini hanya menyediakan platform yang memudahkan hubungan antara permintaan kendaraan ke partner Uber yang telah tersertifikasi.
Untuk masalah keamanan, Uber memiliki fitur keamanan dengan menampilkan nama, foto, dan detail kontak pengemudi serta nomor plat kendaraan sebelum pengguna masuk ke dalam kendaraan. Pengguna juga bisa membagikan informasi perjalanan dan perkiraan waktu tiba (ETA) dengan teman atau keluarga agar mereka dapat mengikuti perjalanan melalui pelacakan GPS langsung melalui aplikasi Uber.

Bagaimana dengan startup transportasi lain

Go-Jek
Uber bukanlah satu-satunya startup yang bergerak di bidang transportasi di Indonesia. Ada GrabTaxi, EasyTaxi, SayTaxi, dan Go-Jek yang beroperasi di tanah air. Namun hanya Uber yang mendapat masalah hingga berujung penangkapan.
Padahal salah satu fungsi utama dari Uber adalah membuat lapangan pekerjaan baru. Sebagai contoh, seorang pengangguran yang memiliki kemampuan mengendarai mobil bisa menyewa mobil untuk nantinya bekerja sama dengan Uber sebagai partner.
Hal serupa juga dilakukan oleh GrabTaxi dengan membantu dan mempermudah supir taksi mendapat penumpang. Bayangkan saja sebelum adanya aplikasi tersebut, supir taksi harus berkeliling mendapat penumpang, yang mana akan membuang-buang bahan bakar kendaraan mereka. Sekarang dengan adanya GrabTaxi, para supir taksi hanya perlu menunggu permintaan, kemudian menjemput penumpang dan membawanya sampai ke tujuan.
Begitu juga dengan Go-Jek yang telah berhasil membawa jasa ojek ke tahap yang lebih tinggi. Tidak tanggung-tanggung, penghasilan para tukang Ojek setelah menjadi partner Go-Jek bisa mencapai Rp13 juta per bulan. Jauh di atas Upah Minimum Regional (UMR) di seluruh wilayah Indonesia.
Semua startup tersebut memiliki misi untuk mempermudah transportasi dan membuka banyak lowongan pekerjaan baru. Akan tetapi sejumlah pihak tampaknya belum sadar dan paham tentang keberadaan startup teknologi. Dan bahkan, mungkin ada sejumlah pihak yang mempermasalahkan hal tersebut karena memiliki kepentingan tersendiri.
(Diedit oleh Lina Noviandari)

Previous
Next Post »